Catatan seorang Anak
6:59:00 PM![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhxGwqk6dheabMQIK4o7624bn3ZRty2JMT_ZAQqLmSW7RCg8irheLxl6BsL27_168DYeGHihUBB2kIIgJ68qGV62Pvo44ptdV8bqh8eKXSfchAgd6b2iZTCAI9rhRHq-rwC8E3PpUmTNgDk/s320/_rainy__by_8LittlePsycho8.jpg)
Kondisi baik ini selalu saya rasakan sampai umur
yang sekarang kecuali untuk dua bulan belakangan. Saya sempat berpikir bahwa
mungkin seperti inilah kehidupan orang dewasa, bawaannya rumit-rumit. kalau
begitu jadi anak-anak mungkin lebih baik. tapi, dulu waktu zaman masih
anak-anak, saya sering paksa dewasa. Ingin cepat-cepat
besar lalu menceburkan diri dalam pergulatan batin orang dewasa, ingin merantau dan mencari uang dengan keringat sendiri.
Siang
ini saya ingin menyederhanakan semua yang
rumit ini detik ini juga. Sebenarnya keadaan ini bisa saya simpan
sendiri, tapi menahannya sendiri membuat saya pandai berspekulasi,
menghadirkan penafsiran aneh, anehnya lagi saat saya ingin tidur, otak
saya justru melawan, saya tidak bisa tidur karena pikiran rumit ini.
Dengan pikiran
yang berkepanjangan semalam suntuk, dengan harapan bahwa kesembuhan itu
akan
datang tanpa di undang. Biarkan saya bercerita tentang laki-laki yang
saya panggil bapak. Pertama-tama, saya akan memberikan pengakuan bahwa
saya sangat mencintainya. beberapa pekan yang lalu, Saya terang-terangan
mengatakan pada beliau bahwa kekuatiran beliau tentang sakit
jantung, ginjal , dan kanker bisa ia bagi denganku. tentang Ginjal, jika memang di butuhkan , maka beliau boleh
mengambil ginjalku. Sel kanker, jika nanti sel kanker itu tak bisa di
kendalikan lagi, saya akan memohon kepada-Nya, agar rasa sakit yang beliau
derita bisa di bagi denganku, sedang jantung, saya sungguh bingung bagaimana
harus berbagi denyut, namun, Jika tak ada lagi jalan lain maka beliau boleh mengambil seluruh sisa denyut
yang saya miliki. Bapak hanya diam saja. Entah apa yang beliau pikirkan.
Bapak
saya adalah tipe ‘family man’ dengan Kepribadian
hangat dan sangat mencintai keluarganya. Beliau Suka menanyakan kabar
dan mengunjungi saudara-saudaranya. bapak
sering bercerita, bercerita banyak hal, dari semua cerita bapak yang
paling
saya suka adalah cerita masa kecil bapak yang penuh perjuangan dan
sedih juga karena bapak tidak sempat mengenali wajah ibunya. Cerita
bapak
sebenarnya adalah cerita sedih, namun cara bapak bercerita benar-benar
menertawakan nasib. pernah pada suatu pagi, setelah pulang lari-lari
pagi, beliau
menceritakan ,kisah semut yang beliau perhatikan dari kursi di teras
rumah. Kisah
semut yang tolong menolong mengangkat lalat. Saya terharu, laki -laki
ini sungguh
perhatian.
Beliau, di umur yang sekarang, saya tak sekalipun
mendengar keluhan beliau tentang kehidupan yang lalu-lalu. Beliau tipikal
lelaki yang setia, seperti setianya ia menunggui ku belajar mengendarai
sepeda, tidak terbayang, bagaimana sabarnya beliau menuntunku saat baru
belajar jalan. Mungkin bukan Cuma sabar yang harus beliau kerahkan, kekuatiran
juga, bagaimana jika sewaktu-waktu saya terjatuh dan tidak ada yang membantuku
bangkit..
Bapak,
saya baru sadar bahwa kegemaran saya
jalan-jalan pagi adalah warisan dari beliau. bapak memiliki
kebiasaan-kebiasaan yang jika saya ingat-ingat lagi, saya akan semakin
sadar bahwa cintaku pada bapak tidaklah seberapa dibandinkan cinta bapak
kepada saya.
Beliau itu suka menunggu, menungguku saat pulang sekolah atau pulang main, saya sering tidak sadar telah menghadirkan kekuatiran yang menggunung di hati bapak saat terlambat pulang dan tak memberikan kabar, saya pernah mendapati beliau diam-diam memuji Tuhan saat saya tiba dirumah dalam keadaan baik-baik saja.
Bapak, Laki-laki yang sederhana dengan cara sederhana pula ia mengungkapkan cintanya. waktu kecil dulu, bapak sering menyisir rambutku dengan model yang sama, belah samping miring ke kanan, ini berulang terus menerus, masih model yang sama, seperti kasihnya kepada saya yang berulang, masih sama dan terus menerus.
Beliau itu suka menunggu, menungguku saat pulang sekolah atau pulang main, saya sering tidak sadar telah menghadirkan kekuatiran yang menggunung di hati bapak saat terlambat pulang dan tak memberikan kabar, saya pernah mendapati beliau diam-diam memuji Tuhan saat saya tiba dirumah dalam keadaan baik-baik saja.
Bapak, Laki-laki yang sederhana dengan cara sederhana pula ia mengungkapkan cintanya. waktu kecil dulu, bapak sering menyisir rambutku dengan model yang sama, belah samping miring ke kanan, ini berulang terus menerus, masih model yang sama, seperti kasihnya kepada saya yang berulang, masih sama dan terus menerus.
Bapak, sangat menghargai kehidupan. Sedari dulu, beliau selalu mengatakan bahwa tangan di atas itu selalu lebih baik dari
tangan di bawah. Ia menghargai kehidupan dengan bersungguh-sungguh
menjalaninya. Saya sempat dibuat terharu saat beliau merapikan uang receh yang
berserakan di lemari. Masih masalah uang, bapak selalu menekankan agar saya
tidak boros, tidak membeli sesuatu yang tidak benar-benar saya butuhkan. Pernah
sekali saat kami ke pasar sentral di Makassar, saat itu beliau seperti
tertarik ingin membeli baju, tapi tak jadi membelinya, katanya tidak terlalu butuh,
namun saat saya meminta uang untuk membeli tas, beliau tidak bertanya apa-apa
langsung di berikannya saja, padahal bisa jadi itu adalah uang terakhir bapak, padahal bapak
lebih butuh baju baru, baju yang beliau kenakan sudah sangat lusuh. lagi-lagi bapak lebih mendahulukan keinginan saya.
Waktu
masih kecil-kecil dulu, bapak sangat
mendukung karir perdagangan bebas yang saya tekuni, saat musim jambu
datang,
beliau akan memanjat jambu untukku, kemudia saya akan menjajakannya
keliling
kampung. saat musim pancing memancing datang, beliau akan sibuk
menyiapkan pancingan beserta kailnya untukku. bapak juga selalu
menyemangati saya untuk menaklukan hal-hal susah. dari seluruh penghuni
rumah bapak lah satu-satunya yang mendukung saya untuk belajar
mengendarai motor di usia muda. beliau Tak sekalipun tak
menyambut harapanku. kami juga sering menghabiskan waktu bersama di
kebun, bapak memanjat kelapa saya yang akan memungutya, bapak mencabut
rumput saya yang kemudian mengumpulkannya, bapak membelah kayu saya yang
mengikatnya.
Saya dan bapak sama-sama suka jalan-jalan, kami sering
melewatkan waktu hanya berdua saja. Jika
musim tujuh belasan tiba, saya dan bapak akan membuat janji, jam berapa
berangkat ke tanah lapang untuk Melihat pertunjukan, ada lagi cerita haru
disini, jika lapangan terlalu ramai, bapak akan menggendongku di punggungnya,
beliau rela tak melihat keramaian asal saya bisa melihat keramaian dan
tersenyum.
Waktu masih kecil-kecil dulu, saat pagi datang,
bapak akan mengajak saya ke warung kopi langganannya. sebelum ia menikmati kopi
yang dihidangkan untuknya, bapak akan menuangkan pelan-pelan kopi ke piring
agar saya tak merasakan panas. sedari awal perjuangan beliau yang
berdarah-darah hanya agar saya tak merasakan getir yang telah ia rasakan diusia
mudanya.
Kami pernah melakukan perjalanan, ini adalah
bagian paling menggetarkan dalam kebersamaan kami. Saat itu kapal yang kami
tumpangi telah penuh, saya dan bapak akhinya tidur di geladak kapal beratapkan
langit langsung, maut mendekat saat bulan berpesta dengan pancarannya di langit
luas. Saya ketakutan, bapak memeluk saya, tenang, ada bapak disini.
Waktu masih kecil-kecil dulu, saya dan bapak
sering melewatkan hari-hari syahdu di tangga kapal, perpisahan menggetarkan
yang terjadi berulang di tangga kapal, saat bapak meninggalkan kami sekeluarga
dengan kesadaran penuh sebagai tulang punggung keluarga. Saya sering menangis memaksa
ikut namun bapak tampak kejam dengan langkah
yang tak berpaling. Setelah dewasa ini, saya baru tahu,saat itu air mata
beliau tak kalah deras, hanya saja bapak takut tak dapat melanjutkan langkah
jika memalingkan badan.
Walau hampir separuh usia saya tak bersama beliau
, tapi nyatanya , durasi kalah hebat dari cinta , justru karena lama tak
bersama-sama maka lahir lah rindu yang mekar di waktu malam yang di warnai
kekuatiran , adakah bapak sehat-sehat saja, atau rindu-rindu sederhana saat
makanan di hidangkan , bapak akan bertanya pada ibu “ buyung makan apa disana”.
Bapak walaupun selalu nampak tegar, tapi saya tau
bahwa diam–diam ia sering meneteskan airmata, doanya lebih keras dari siapapun
untuk saya. Saat saya memutuskan untuk melanjutkan sekolah di luar kampung .
hari itu, rumah kami tampak kuyup oleh air mata. tapi ia memilih berdiri di
ambang pintu, menatap jauh , bukan karena tak perdul , justru ialah yang
berpikir lebih keras, lebih dalam, nak baik-baik disana.
Dulu, saya sering merasa bahwa bapak jarang-jarang merindukan saya, beliau kalau menelpon selalu ingin buru-buru di tutup, rupanya bukan karena tidak rindu, hanya saja, rindu telah menghisap kata yang hendak terburai, kemudian rindu itu di biarkan menjelma do'a untuk kebaikanku.
Dulu, saya sering merasa bahwa bapak jarang-jarang merindukan saya, beliau kalau menelpon selalu ingin buru-buru di tutup, rupanya bukan karena tidak rindu, hanya saja, rindu telah menghisap kata yang hendak terburai, kemudian rindu itu di biarkan menjelma do'a untuk kebaikanku.
Tiga hari yang lalu tepat dua bulan waktu berlalu
saat kami sama-sama menginjakan kaki di tanah suci. Perjalanan ini, saya baru
tahu bahwa sebenarnya bapak tidak kuat melakukan perjalanan jauh tapi karena
ingin menemani saya akhirnya beliau menguatkan diri. Selama di tanah suci,
kami sering melewatkan waktu-waktu menggetarkan hanya berdua saja. Saya dengan
setia mendorong beliau di kursi roda, kami berpegangan tangan sangat erat saat sama-sama
berthawah keliling ka’bah. Kami sama-sama tersedu saat bermunajat
langsung di rumah Allah.
Saat
di madinah, saya diserang rasa bersalah
yang sangat besar saat bapak tak kuat melanjutkan langkah untuk
berziarah ke
raudah, saya tahu kondisinya tidak baik, namun beliau tetap menyuruh
saya berziarah ke raudah untuk mendoakan beliau,” pergilah doakan bapak.
saya
menangis disepanjang jalan. Betapa saya mencintai laki-laki ini.
Alhamudillah
kami kembali ke tanah air dengan
selamat dan lembaran baru benar-benar terbuka saat dokter memvonis bapak
terkena
kanker nasofaring. Saya tak bisa berkata-kata saat menunggu pemeriksaan
demi
pemeriksaan di lorong rumah sakit, saya tak bisa menyembunyikan
kekuatiran saat
darah mengalir deras dari mulut beliau namun beliau masih bisa tersenyum
pada
saya. Saya tak dapat menahan haru saat mendapati bahwa beliau tidak bisa
bernapas menggunakan hidung, betapa tersiksannya. Saya tak dapat menahan
air
mata saat beliau meminta saya membukakan tutup botol, bapak bahkan tak
bisa lagi
membuka tutup botol. saya tak dapat mengeja apa yang saya rasakan saat
bapak memegang tangan saya usai pemeriksaan, beliau selalu mengatakan
bahwa proses pemeriksaannya
tidaklah sakit, saya tahu beliau berbohong agar saya tak kuatir.
Keadaan-keadaan
ini seperti sebuah mesin waktu yang memutar ulang kebaikan-kebaikan beliau yang tidak terhitung
untuk saya, menghadirkan kembali ruang-ruang yang telah jauh terlewati di mana
hanya ada saya dan bapak.
Saya sengaaja menuliskan ini Agar kelak
saat usia senja mendatangi orang tua kita, kita tak akan menyia-nyiakan
mereka. Agar kesabaran kita terjaga saat langkah mereka mulai melemah
hingga kita bisa bersabar menunggu, menuntun atau memapah. agar kita
dapat setia saat mereka membutuhkan pengulangan dalam sapa. kita harus
mengingat ini baik-baik sebab mereka telah bersabar untuk kita hingga
puluhan tahun sedang kita hanya di tuntut sedikit, tak lama, mereka hanya
begitu di usia senjanya.
8 April 2013
0 comments